Selasa, 19 Agustus 2008

Jika kita benar-benar ingin menjadi alat di tangan Bapa Surgawi kita dalam mendatangkan tujuan-tujuan kekalNya, kita hanya perlu menjadi seorang teman

Meskipun, secara terus terang, orang tidak pernah benar-benar nyaman dengan tugas seperti ini, namun saya dengan tulus menghargai kesempatan ini untuk berbicara kepada anda semua pada hari Minggu Paskah yang indah ini.
Ayah saya yang bijaksana pernah mengatakan kepada saya bahwa jika saya mendengarkan dengan seksama apa yang diceramahkan orang dari mimbar di Gereja, saya akan tahu asas-asas injil apa yang menjadi perhatian mereka dan yang mungkin sulit untuk mereka terapkan kapan pun. Selama bertahun-tahun, pengamatan ayah saya telah menyebabkan saya menjadi sangat berhati-hati dalam memilih topik yang saya bicarakan! Namun demikian, saya ingin membuat pengakuan hari ini. Sejak Presiden Gordon B. Hinckley telah membagikan kepada kita tiga kebutuhan mendasar yang dimiliki setiap anggota Gereja bagi seorang teman, sebuah tanggung jawab, dan dipelihara oleh firman Allah yang baik, saya telah menjadi sangat prihatin secara pribadi mengenai kinerja saya sebagai seorang teman.
Nabi Joseph Smith mengajarkan bahwa "persahabatan adalah salah satu asas dasar penting dari 'Mormonisme.' "
1 Pemikiran itu seharusnya mengilhami dan memotivasi kita semua karena saya merasa persahabatan merupakan salah satu kebutuhan mendasar dunia kita. Menurut saya dalam diri kita masing-masing ada suatu kerinduan mendalam akan persahabatan, suatu hasrat yang mendalam bagi kepuasan dan keamanan yang dapat diberikan oleh persahabatan yang akrab dan langgeng. Mungkin satu alasan tulisan suci sedikit menyebut asas persahabatan secara spesifik adalah karena itu seharusnya dinyatakan secara cukup alami sewaktu kita mematuhi injil. Bahkan, bila sifat kasih amal Kristiani memiliki sepupu, itu pastilah persahabatan. Untuk sedikit mengubah perkataan Paulus, persahabatan "itu sabar, dan murah hati. [Persahabatan] tidak cemburu; tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain. [Persahabatan] tidak berkesudahan."2
Seperti begitu banyak dari hal-hal yang patut dihargai dalam kehidupan, kebutuhan kita akan persahabatan sering paling dipenuhi di rumah. Jika anak-anak kita merasakan persahabatan di dalam keluarga, dengan satu sama lain, dan dengan orang tua, maka mereka tidak akan kehausan akan penerimaan di luar keluarga. Menurut saya salah satu pencapaian kehidupan yang paling memuaskan bagi saya dan istri saya adalah dapat hidup cukup lama untuk menyaksikan anak-anak kami menjadi teman baik. Sungguh merupakan mujizat bahwa mereka dalam keluarga kami yang pada waktu lebih muda kadang-kadang saling mengancam dengan ancaman fisik yang membahayakan, kini mencari dan dengan tulus menikmati persahabatan satu sama lain. Demikian pula, menurut saya tidak ada pujian yang lebih indah yang dapat diberikan kepada orang tua daripada mendengar anak-anak me- ngatakan bahwa orang tua mereka ada di antara teman-teman terbaik mereka.
Persahabatan juga merupakan bagian yang penting dan indah dari masa berpacaran dan pernikahan. Hubungan antara seorang pria dan wanita yang diawali dengan persahabatan dan kemudian bertumbuh menjadi hubungan asmara dan akhirnya pernikahan biasanya akan menjadi persahabatan yang langgeng dan kekal. Tidak ada yang lebih mengilhami di zaman sekarang di mana pernikahan mudah sekali bubar daripada mengamati suami dan istri yang secara diam-diam saling menghargai dan menikmati persahabatan satu sama lain tahun demi tahun sementara mereka mengalami bersama berkat-berkat dan cobaan-cobaan kefanaan. Sebuah laporan yang baru-baru ini diterbitkan mengenai tonggak waktu 25 tahun penelitian pernikahan menemukan bahwa "pengikat dari pernikahan yang langgeng . . . adalah sebuah konsep sederhana dengan dampak yang amat kuat: persahabatan."
3 Dalam sepucuk surat yang menyentuh perasaan yang ditulis Nabi Joseph Smith kepada istrinya, Emma, selama perpisahan dan pencobaan di Missouri, dia menghibur Emma dengan mengatakan, "O, Emmaku tersayang, aku ingin agar engkau ingat bahwa aku adalah sahabatmu yang sejati dan setia, bagimu dan anak-anak, selama-lamanya."4
Organisasi Gereja yang diilhami juga mendorong persahabatan. Dari umur termuda sampai yang tertua kita, kita berada dalam keadaan di mana persahabatan dan pergaulan dapat berkembang. Di dalam wawancara, pertemuan, kelas, kuorum, dewan, kegiatan, dan berbagai kesempatan lainnya untuk bergaul, kita dapat berteman dan menemukan pengertian. Ucapan salam yang ditentukan untuk menyambut para penatua yang menghadiri Sekolah para Nabi di Kirtland mengungkapkan semangat persahabatan yang mungkin dapat dijadikan sebagai pernyataan ikatan bagi kita masing-masing: "Aku menerimamu sebagai rekan seanggota, dengan suatu keputusan yang pasti, yang tidak tergoyahkan dan tidak dapat diubah, untuk menjadi teman . . . melalui kasih karunia Allah dalam ikatan kasih."
5
Semua interaksi kita di Gereja dijadikan lebih menyenangkan dan produktif sewaktu disertai dengan rasa persahabatan yang murni. Seorang guru injil, misalnya, yang tidak berusaha menjadi teman murid-muridnya jarang akan mengajar dengan pengaruh dan dampak yang bertahan lama. Saya masih menyimpan tulisan satu kalimat di dalam buku tahunan SMU saya di mana seorang guru seminari yang saya kasihi dan yang darinya saya telah belajar banyak, mengatakan kepada saya bahwa dia bersyukur telah menjadi teman saya.
Seorang uskup, tidak peduli betapa pun trampilnya dia dalam bidang administrasi, harus menjadi teman bagi anak-anak, remaja, dan orang dewasa jika dia ingin menolong mereka mencapai potensi rohani mereka. Saya pernah merasa tersentuh ketika seorang remaja putri yang saya kenal pergi menemui uskupnya untuk mengakui pelanggaran dosa yang serius .Dia kuatir bagaimana uskupnya akan bereaksi terhadap penyimpangannya dari jalan injil dan baru pergi kepadanya setelah didesak cukup banyak. Ketika saya bertanya kepadanya setelahnya apa reaksi uskupnya, dia mengatakan kepada saya dengan penuh perasaan bahwa uskupnya ikut menangis bersamanya dan bahwa dalam bekerja dengannya untuk memperoleh pengampunan Tuhan, dia kini menganggap uskupnya sebagai salah seorang teman terbaiknya.
Ada tantangan khusus yang kita hadapi sebagai Orang Suci Zaman Akhir dalam membina dan mempertahankan persahabatan. Karena komitmen kita terhadap pernikahan, keluarga dan Gereja sedemikian kuatnya, kita sering merasa tertantang oleh batasan waktu dan energi dalam mengulurkan persahabatan kepada orang lain di luar kelompok inti itu. Saya mengalami sendiri dilema ini baru-baru ini pada waktu saya berusaha mencuri sedikit waktu di rumah untuk mempersiapkan ceramah ini. Dua kali, teman-teman dari masa lalu saya, yang amat saya kasihi tetapi hanya sekali-sekali sempat bertemu, mampir untuk bertamu. Dalam apa yang seharusnya merupakan waktu reuni dan nostalgia yang khusus, saya secara ironis mendapatkan diri saya menjadi tidak sabar di dalam batin menginginkan kunjungan itu cepat berakhir agar saya dapat kembali mempersiapkan ceramah saya mengenai persahabatan!
Sejak itu saya merasa sangat malu. Betapa kita bisa demikian egoisnya. Betapa kita tidak bersedia untuk diganggu, untuk memberi, untuk memberkati dan diberkati. Dapat menjadi orang tua, atau tetangga, atau hamba Tuhan Yesus Kristus macam apa kita ini tanpa menjadi seorang teman? Dalam era informasi ini, bukankah persahabatan masih merupakan teknologi terbaik untuk membagikan kebenaran dan jalan hidup yang kita kasihi? Bukankah keraguan kita untuk secara sukarela menggapai sesama dalam persahabatan merupakan batu sandungan yang besar untuk membantu Allah mencapai tujuan-tujuan kekalNya?
Bertahun-tahun yang lalu, ketika saya melayani sebagai seorang uskup, sebuah keluarga yang baru dibaptiskan pindah ke masyarakat pedesaan Utah kami. Orang-orang yang baik ini telah bergabung dengan Gereja di Amerika Serikat bagian timur dan telah disambut dengan hangat serta diberikan tugas dalam sebuah cabang kecil di sana. Ketika mereka pindah ke lingkungan kami yang lebih besar, dan lebih terbentuk, mereka agaknya menjadi terabaikan. Beberapa anggota keluarga itu, terutama ayahnya, menjadi agak jauh dengan Gereja dan para anggotanya.
Suatu Minggu pagi ketika saya memperhatikan sang ayah tidak datang ke pertemuan imamat, saya meninggalkan gedung pertemuan dan pergi ke rumahnya. Dia mengundang saya masuk, dan kami mengadakan pembicaraan yang sangat jujur mengenai pergumulan yang dia hadapi dengan agama dan para tetangga barunya. Setelah menyelami berbagai macam kemungkinan untuk menanggapi kecemasannya, yang tidak satupun memuaskannya, saya bertanya kepadanya dengan nada frustrasi dalam suara saya apa yang dapat kami lakukan untuk menolongnya. Saya tidak pernah melupakan jawabannya:
"Baiklah uskup," ujarnya (dan saya perlu sedikit mengubah dengan kata-kata saya sendiri di sini), "demi Tuhan, apapun yang anda lakukan, tolong jangan tugaskan seseorang untuk menjadi teman saya."
Saya memetik sebuah pelajaran sangat berharga pada hari itu. Tidak seorangpun ingin dijadikan "proyek"; kita semua ingin dikasihi secara spon- tan. Dan, jika kita harus memiliki teman, kita ingin mereka tulus dan murni, bukan "ditugaskan."
Brother dan sister, pesan saya hari ini amatlah sederhana: jika kita benar-benar ingin menjadi alat di tangan Bapa Surgawi kita dalam mendatangkan tujuan-tujuan kekalNya, kita hanya perlu menjadi seorang teman. Pikirkanlah kekuatan kita masing-masing, sejumlah 10 juta orang, dengan pilihan dan kehendak kita sendiri menggapai mereka yang belum menjadi anggota Gereja kita dalam persahabatan tanpa syarat. Kita tidak akan lagi dituduh menawarkan roti yang hangat dan hati yang dingin. Bayangkan pengaruh-pengaruh demi kebaikan jika setiap keluarga yang aktif di Gereja menawarkan kepedulian dan persahabatan tulus secara terus menerus kepada keluarga yang kurang aktif atau keluarga yang baru menjadi anggota. Kekuatan ada di dalam diri kita masing-masing untuk menjadi seorang teman. Tua dan muda, kaya dan miskin, berpendidikan dan sederhana, dalam setiap bahasa dan negeri, kita semua memiliki kemampuan untuk menjadi seorang teman.
Juruselamat kita, tidak lama sebelum penyalibanNya, berkata kepada murid-muridNya, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabatKu."
6 Setelah begitu diberkati melalui persahabatan Kristus, saya berdoa agar kita sekarang menjadi bagi orang lain seperti apa adanya Dia bagi kita­seorang teman yang sejati. Tidak ada waktu di mana kita menjadi lebih seperti Kristus daripada sewaktu kita menjadi seorang teman. Saya bersaksi mengenai nilai tak terkira dari teman-teman di dalam kehidupan saya sendiri dan menyatakan syukur saya kepada mereka semua pagi ini. Saya tahu bahwa sewaktu kita menawarkan diri kita dalam persahabatan, kita memberikan sumbangan yang amat penting bagi pekerjaan Allah dan bagi kebahagiaan serta kemajuan anak-anakNya. Dalam nama Yesus Kristus, amin.
Posting from : lds.org/conference/talk/display/by. Cah Temanggung

Tidak ada komentar: