Kamis, 21 Agustus 2008

Iri हटी

“Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” Amsal 14:30
Iri hati berasal dari perasaan tidak puas terhadap diri sendiri karena melihat keberadaan orang lain. Rasa iri bisa melanda siapa saja dan di mana saja: di gereja ada yang iri hati karena orang lain lebih menonjol pelayanannya, di tempat kerja ada yang iri hati pada rekan yang lebih berhasil dan menduduki jabatan yang lebih tinggi, di dalam keluarga ada yang iri hati karena kakak/adik lebih diperhatikan orangtua dan sebagainya. Perlu kita sadari bahwa perasaan iri hati tidak membawa kebaikan bagi kita.Iri hati tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga sangat merugikan diri sendiri, seperti disampaikan Salomo dalam amsalnya bahwa “…iri hati membusukkan tulang.” (Amsam 14:30), bahkan ada penegasannya pula: “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segalam macam perbuatan jahat.” (Yakobus 3:16). Jadi ‘iri hati’ adalah salah satu senjata yang dipakai iblis untuk memecah-belah anak-anak Tuhan dan menjadi penghalang dalam mengasihi orang lain. Bila tidak segera diselesaikan dengan tuntas, iri hati dapa menjadi kepahitan yang membusukkan tulang.Orang yang iri hati berdukacita atas kesuksesan orang lain dan sebalikanya ia bersukacita atas kegagalan orang lain. Ia tidak suka bila ada orang lain lebih baik atau lebih sukses dari dirinya. Orang yang iri hati juga cenderung suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, akibatnya ia sendiri menjadi sangat tertekan dan kehilangan damai sejahtera; jadi harus segera dibereskan, karena di mana pun berada ia akan selalu bertemu dengan orang-orang yang mungkin lebih baik atau lebih sukses dibanding dirinya. Maka kita harus segera memeriksa diri kita sendiri, apa yang membuat kita menjadi iri hati terhadap orang lain. Daripada membuang energi untuk iri, belajarlah melihat potensi terbaik yang ada di dalam diri kita, dan kembangkan terus.Bila kita fokus pada apa yang kita miliki kita akan bersyukur apa pun keadaan kita; namun bila kita tertuju pada apa yang tidak kita miliki dan melihat keberdaan orang lain terus, kita akan selalu berpikiran negatif dan tidak bisa bersyukur.
Renungkan: iri hati hana akan merusak diri kita sendiri!
Diambil dari bacaan AIR HIDUP RENUNGAN HARIAN, EDISI 18 Juni 2008

Tentang Pacaran

Tidak heran bahwa untuk mencapai tujuan yang agung, orang-orang Kristen bergaul dan berpacaran secara berbeda dengan orang-orang non-Kristen. Pacaran bagi orang Kristen ditandai dengan:
1. Proses Peralihan dari "Subjective Love" ke "Objective Love."
"Subjective love" sebenarnya tidak berbeda daripada manipulative love yaitu "kasih dan pemberian yang diberikan untuk memanipulir orang yang menerima". Pemberian yang dipaksakan sesuai dengan kemauan dan tugas dari si pemberi dan tidak memperhitungkan akan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh si penerima. Sesuai dengan "sinful nature"nya setiap anak kecil telah belajar mengembangkan "subjective love". Dan "subjective love" ini tidak dapat menjadi dasar pernikahan. Pacaran adalah saat yang tepat untuk mematikan sinful nature tsb, dan mengubah kecenderungan "subjective love" menjadi "objective love". Yaitu memberi sesuai dengan apa yang baik yang betul-betul dibutuhkan si penerima.
2. Proses Peralihan dari "Envious Love" ke "Jealous Love."
"Envious" sering diterjemahkan sama dengan "jealous" yaitu cemburu. Padahal "envious" mempunyai pengertian yang berbeda. "Envious" adalah kecemburuan yang negatif yang ingin mengambil dan merebut apa yang tidak menjadi haknya. Sedangkan "jealous" adalah kecemburuan yang positif yang menuntut apa yang memang menjadi hak dan miliknya. Tidak heran, kalau Alkitab sering menyaksikan Allah sebagai Allah yang "jealous", yang cemburu (misal: 20:5). Israel milik-Nya umat tebusan-Nya. Kalau Israel menyembah berhala atau lebih mempercayai bangsa-bangsa kafir sebagai pelindungnya, Allah cemburu dan akan merebut Israel kembali kepada-Nya.
Begitu pula dengan pergaulan pemuda-pemudi. Pacaran muda-mudi Kristen harus ditandai dengan "jealous love". Mereka tidak boleh menuntut "sesuatu" yang bukan atau belum menjadi haknya (seperti: hubungan seksuil, wewenang mengatur kehidupannya, dsb). Tetapi mereka harus menuntut apa yang memang menjadi haknya, seperti kesempatan untuk dialog, pelayanan ibadah pada Allah dalam Tuhan Yesus, dsb.
3. Proses Peralihan dari "Romantic Love" ke "Real Love."
"Romantic love" adalah kasih yang tidak realistis, kasih dalam alam mimpi yang didasarkan pada pengertian yang keliru bahwa "kehidupan ini manis semata-mata". Muda-mudi yang berpacaran biasanya terjerat pada "romantic love". Mereka semata-mata menikmati hidup sepuas-puasnya tanpa coba mempertanyakan realitanya, misal:
apakah kata-kata dan janji-janjinya dapat dipercaya?
apakah dia memang orang yang begitu sabar, "caring", penuh tanggung jawab seperti yang selama ini ditampilkan?
apakah realita hidup akan seperti ini terus (penuh cumbu-rayu, rekreasi, jalan-jalan, cari hiburan)?
Pacaran adalah persiapan pernikahan, oleh karena itu pacaran Kristen tidak mengenal "dimabuk cinta". Pacaran Kristen boleh dinikmati tetapi harus berpegang pada hal-hal yang realistis.
4. Proses Peralihan dari "Activity Center" ke "Dialog Center."
Pacaran dari orang-orang non-Kristen hampir selalu "activity- center". Isi dan pusat dari pacaran tidak lain daripada aktivitas (nonton, jalan-jalan, duduk berdampingan, cari tempat rekreasi, dsb.), sehingga pacaran 10 tahun pun tetap merupakan 2 pribadi yang saling tidak mengenal. Sedangkan pacaran orang-orang Kristen berbeda. Sekali lagi orang-orang Kristen juga boleh berekreasi dsb, tetapi "center"nya (isi dan pusatnya) bukan pada rekreasi itu sendiri, tapi pada dialog yaitu interaksi antara dua pribadi secara utuh (Martin Buber, "I and Thou", by Walter Kauffmann, Charles Scribner's Sons, NY: 1970), sehingga hasilnya suatu pengenalan yang benar dan mendalam.
5. Proses Peralihan dari "Sexual Oriented" ke "Personal Oriented."
Pacaran orang Kristen bukanlah saat untuk melatih dan melampiaskan kebutuhan seksuil. Orientasi dari kedua insan tsb, bukanlah pada hal-hal seksuil, tapi sekali lagi (seperti telah disebutkan dalam no. 4) pada pengenalan pribadi yang mendalam.
Jadi, masa pacaran tidak lain daripada masa persiapan pernikahan. Oleh karena itu pengenalan pribadi yang mendalam adalah "keharusan". Melalui dialog, kita akan mengenal beberapa hal yang sangat primer sebagai dasar pertimbangan apakah pacaran akan diteruskan atau putus sampai disini.
Beberapa hal yang primer tsb, antara lain:
a. Imannya.
Apakah sebagai orang Kristen dia betul-betul sudah dilahirkan kembali (Yoh 3:3), mempunyai rasa takut akan Tuhan (Amsal 1:7) lebih daripada ketakutannya pada manusia, sehingga di tempat- tempat yang tersembunyi dari mata manusia sekalipun ia tetap takut berbuat dosa. Apakah ia mempunyai kehausan akan kebenaran Allah dan menjunjung tinggi hal-hal rohani?
b. Kematangan Pribadinya.
Apakah ia dapat menyelesaikan konflik-konflik dalam hidupnya dengan cara yang baik? Dapat bergaul dan menghormati orang-orang tua? Apakah ia menghargai pendapat orang lain?
c. Temperamennya.
Apakah ia dapat menerima dan memberi kasih secara sehat? Dapat menempatkan diri dalam lingkungan yang baru bahkan sanggup membina komunikasi dengan mereka? Apakah emosinya cukup stabil?
d. Tanggung-jawabnya.
Apakah dia secara konsisten dapat menunjukkan tanggung-jawabnya, baik dalam studi, pekerjaan, uang, seks, dsb.?
Kegagalan dialog akan menutup kemungkinan mengenali hal-hal yang primer di atas. Dan pacaran 10 tahun sekalipun belum mempersiapkan mereka memasuki phase pernikahan.
Kegagalan dalam dialog biasanya ditandai dengan pemikiran- pemikiran:
Saya takut bertengkar dengan dia, takut menanyakan hal-hal yang dia tidak sukai.
Setiap kali bertemu kami selalu mencari acara keluar ... atau kami ingin selalu bercumbuan saja.
Saya rasa "dia akan meninggalkan saya" kalau saya menuntut kebenaran yang saya yakini. Saya takut ditinggalkan.
Saya tidak keberatan atas kebiasaannya, wataknya bahkan jalan pikirannya asalkan dia tetap mencintai saya, dsb.

informasi reoni

informasi bagi teman - teman alumni SMK Swadaya Temanggung jurusan Akuntansi ankatan 2006 akan diadan reoni dan temu kangen besuk pada hari Sabtu, tanggal 04 Oktober 2008 jam 09.00 di aula SMK Swadaya TemanggungUntuk informasi bisa hubungi antonius ariyanto di no. 085228855442 ; 085640706215Mohon partisipasinya dan pendaftaran secepatnya. terimakasih

Selasa, 19 Agustus 2008

Jika kita benar-benar ingin menjadi alat di tangan Bapa Surgawi kita dalam mendatangkan tujuan-tujuan kekalNya, kita hanya perlu menjadi seorang teman

Jika kita benar-benar ingin menjadi alat di tangan Bapa Surgawi kita dalam mendatangkan tujuan-tujuan kekalNya, kita hanya perlu menjadi seorang teman

Meskipun, secara terus terang, orang tidak pernah benar-benar nyaman dengan tugas seperti ini, namun saya dengan tulus menghargai kesempatan ini untuk berbicara kepada anda semua pada hari Minggu Paskah yang indah ini.
Ayah saya yang bijaksana pernah mengatakan kepada saya bahwa jika saya mendengarkan dengan seksama apa yang diceramahkan orang dari mimbar di Gereja, saya akan tahu asas-asas injil apa yang menjadi perhatian mereka dan yang mungkin sulit untuk mereka terapkan kapan pun. Selama bertahun-tahun, pengamatan ayah saya telah menyebabkan saya menjadi sangat berhati-hati dalam memilih topik yang saya bicarakan! Namun demikian, saya ingin membuat pengakuan hari ini. Sejak Presiden Gordon B. Hinckley telah membagikan kepada kita tiga kebutuhan mendasar yang dimiliki setiap anggota Gereja bagi seorang teman, sebuah tanggung jawab, dan dipelihara oleh firman Allah yang baik, saya telah menjadi sangat prihatin secara pribadi mengenai kinerja saya sebagai seorang teman.
Nabi Joseph Smith mengajarkan bahwa "persahabatan adalah salah satu asas dasar penting dari 'Mormonisme.' "
1 Pemikiran itu seharusnya mengilhami dan memotivasi kita semua karena saya merasa persahabatan merupakan salah satu kebutuhan mendasar dunia kita. Menurut saya dalam diri kita masing-masing ada suatu kerinduan mendalam akan persahabatan, suatu hasrat yang mendalam bagi kepuasan dan keamanan yang dapat diberikan oleh persahabatan yang akrab dan langgeng. Mungkin satu alasan tulisan suci sedikit menyebut asas persahabatan secara spesifik adalah karena itu seharusnya dinyatakan secara cukup alami sewaktu kita mematuhi injil. Bahkan, bila sifat kasih amal Kristiani memiliki sepupu, itu pastilah persahabatan. Untuk sedikit mengubah perkataan Paulus, persahabatan "itu sabar, dan murah hati. [Persahabatan] tidak cemburu; tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain. [Persahabatan] tidak berkesudahan."2
Seperti begitu banyak dari hal-hal yang patut dihargai dalam kehidupan, kebutuhan kita akan persahabatan sering paling dipenuhi di rumah. Jika anak-anak kita merasakan persahabatan di dalam keluarga, dengan satu sama lain, dan dengan orang tua, maka mereka tidak akan kehausan akan penerimaan di luar keluarga. Menurut saya salah satu pencapaian kehidupan yang paling memuaskan bagi saya dan istri saya adalah dapat hidup cukup lama untuk menyaksikan anak-anak kami menjadi teman baik. Sungguh merupakan mujizat bahwa mereka dalam keluarga kami yang pada waktu lebih muda kadang-kadang saling mengancam dengan ancaman fisik yang membahayakan, kini mencari dan dengan tulus menikmati persahabatan satu sama lain. Demikian pula, menurut saya tidak ada pujian yang lebih indah yang dapat diberikan kepada orang tua daripada mendengar anak-anak me- ngatakan bahwa orang tua mereka ada di antara teman-teman terbaik mereka.
Persahabatan juga merupakan bagian yang penting dan indah dari masa berpacaran dan pernikahan. Hubungan antara seorang pria dan wanita yang diawali dengan persahabatan dan kemudian bertumbuh menjadi hubungan asmara dan akhirnya pernikahan biasanya akan menjadi persahabatan yang langgeng dan kekal. Tidak ada yang lebih mengilhami di zaman sekarang di mana pernikahan mudah sekali bubar daripada mengamati suami dan istri yang secara diam-diam saling menghargai dan menikmati persahabatan satu sama lain tahun demi tahun sementara mereka mengalami bersama berkat-berkat dan cobaan-cobaan kefanaan. Sebuah laporan yang baru-baru ini diterbitkan mengenai tonggak waktu 25 tahun penelitian pernikahan menemukan bahwa "pengikat dari pernikahan yang langgeng . . . adalah sebuah konsep sederhana dengan dampak yang amat kuat: persahabatan."
3 Dalam sepucuk surat yang menyentuh perasaan yang ditulis Nabi Joseph Smith kepada istrinya, Emma, selama perpisahan dan pencobaan di Missouri, dia menghibur Emma dengan mengatakan, "O, Emmaku tersayang, aku ingin agar engkau ingat bahwa aku adalah sahabatmu yang sejati dan setia, bagimu dan anak-anak, selama-lamanya."4
Organisasi Gereja yang diilhami juga mendorong persahabatan. Dari umur termuda sampai yang tertua kita, kita berada dalam keadaan di mana persahabatan dan pergaulan dapat berkembang. Di dalam wawancara, pertemuan, kelas, kuorum, dewan, kegiatan, dan berbagai kesempatan lainnya untuk bergaul, kita dapat berteman dan menemukan pengertian. Ucapan salam yang ditentukan untuk menyambut para penatua yang menghadiri Sekolah para Nabi di Kirtland mengungkapkan semangat persahabatan yang mungkin dapat dijadikan sebagai pernyataan ikatan bagi kita masing-masing: "Aku menerimamu sebagai rekan seanggota, dengan suatu keputusan yang pasti, yang tidak tergoyahkan dan tidak dapat diubah, untuk menjadi teman . . . melalui kasih karunia Allah dalam ikatan kasih."
5
Semua interaksi kita di Gereja dijadikan lebih menyenangkan dan produktif sewaktu disertai dengan rasa persahabatan yang murni. Seorang guru injil, misalnya, yang tidak berusaha menjadi teman murid-muridnya jarang akan mengajar dengan pengaruh dan dampak yang bertahan lama. Saya masih menyimpan tulisan satu kalimat di dalam buku tahunan SMU saya di mana seorang guru seminari yang saya kasihi dan yang darinya saya telah belajar banyak, mengatakan kepada saya bahwa dia bersyukur telah menjadi teman saya.
Seorang uskup, tidak peduli betapa pun trampilnya dia dalam bidang administrasi, harus menjadi teman bagi anak-anak, remaja, dan orang dewasa jika dia ingin menolong mereka mencapai potensi rohani mereka. Saya pernah merasa tersentuh ketika seorang remaja putri yang saya kenal pergi menemui uskupnya untuk mengakui pelanggaran dosa yang serius .Dia kuatir bagaimana uskupnya akan bereaksi terhadap penyimpangannya dari jalan injil dan baru pergi kepadanya setelah didesak cukup banyak. Ketika saya bertanya kepadanya setelahnya apa reaksi uskupnya, dia mengatakan kepada saya dengan penuh perasaan bahwa uskupnya ikut menangis bersamanya dan bahwa dalam bekerja dengannya untuk memperoleh pengampunan Tuhan, dia kini menganggap uskupnya sebagai salah seorang teman terbaiknya.
Ada tantangan khusus yang kita hadapi sebagai Orang Suci Zaman Akhir dalam membina dan mempertahankan persahabatan. Karena komitmen kita terhadap pernikahan, keluarga dan Gereja sedemikian kuatnya, kita sering merasa tertantang oleh batasan waktu dan energi dalam mengulurkan persahabatan kepada orang lain di luar kelompok inti itu. Saya mengalami sendiri dilema ini baru-baru ini pada waktu saya berusaha mencuri sedikit waktu di rumah untuk mempersiapkan ceramah ini. Dua kali, teman-teman dari masa lalu saya, yang amat saya kasihi tetapi hanya sekali-sekali sempat bertemu, mampir untuk bertamu. Dalam apa yang seharusnya merupakan waktu reuni dan nostalgia yang khusus, saya secara ironis mendapatkan diri saya menjadi tidak sabar di dalam batin menginginkan kunjungan itu cepat berakhir agar saya dapat kembali mempersiapkan ceramah saya mengenai persahabatan!
Sejak itu saya merasa sangat malu. Betapa kita bisa demikian egoisnya. Betapa kita tidak bersedia untuk diganggu, untuk memberi, untuk memberkati dan diberkati. Dapat menjadi orang tua, atau tetangga, atau hamba Tuhan Yesus Kristus macam apa kita ini tanpa menjadi seorang teman? Dalam era informasi ini, bukankah persahabatan masih merupakan teknologi terbaik untuk membagikan kebenaran dan jalan hidup yang kita kasihi? Bukankah keraguan kita untuk secara sukarela menggapai sesama dalam persahabatan merupakan batu sandungan yang besar untuk membantu Allah mencapai tujuan-tujuan kekalNya?
Bertahun-tahun yang lalu, ketika saya melayani sebagai seorang uskup, sebuah keluarga yang baru dibaptiskan pindah ke masyarakat pedesaan Utah kami. Orang-orang yang baik ini telah bergabung dengan Gereja di Amerika Serikat bagian timur dan telah disambut dengan hangat serta diberikan tugas dalam sebuah cabang kecil di sana. Ketika mereka pindah ke lingkungan kami yang lebih besar, dan lebih terbentuk, mereka agaknya menjadi terabaikan. Beberapa anggota keluarga itu, terutama ayahnya, menjadi agak jauh dengan Gereja dan para anggotanya.
Suatu Minggu pagi ketika saya memperhatikan sang ayah tidak datang ke pertemuan imamat, saya meninggalkan gedung pertemuan dan pergi ke rumahnya. Dia mengundang saya masuk, dan kami mengadakan pembicaraan yang sangat jujur mengenai pergumulan yang dia hadapi dengan agama dan para tetangga barunya. Setelah menyelami berbagai macam kemungkinan untuk menanggapi kecemasannya, yang tidak satupun memuaskannya, saya bertanya kepadanya dengan nada frustrasi dalam suara saya apa yang dapat kami lakukan untuk menolongnya. Saya tidak pernah melupakan jawabannya:
"Baiklah uskup," ujarnya (dan saya perlu sedikit mengubah dengan kata-kata saya sendiri di sini), "demi Tuhan, apapun yang anda lakukan, tolong jangan tugaskan seseorang untuk menjadi teman saya."
Saya memetik sebuah pelajaran sangat berharga pada hari itu. Tidak seorangpun ingin dijadikan "proyek"; kita semua ingin dikasihi secara spon- tan. Dan, jika kita harus memiliki teman, kita ingin mereka tulus dan murni, bukan "ditugaskan."
Brother dan sister, pesan saya hari ini amatlah sederhana: jika kita benar-benar ingin menjadi alat di tangan Bapa Surgawi kita dalam mendatangkan tujuan-tujuan kekalNya, kita hanya perlu menjadi seorang teman. Pikirkanlah kekuatan kita masing-masing, sejumlah 10 juta orang, dengan pilihan dan kehendak kita sendiri menggapai mereka yang belum menjadi anggota Gereja kita dalam persahabatan tanpa syarat. Kita tidak akan lagi dituduh menawarkan roti yang hangat dan hati yang dingin. Bayangkan pengaruh-pengaruh demi kebaikan jika setiap keluarga yang aktif di Gereja menawarkan kepedulian dan persahabatan tulus secara terus menerus kepada keluarga yang kurang aktif atau keluarga yang baru menjadi anggota. Kekuatan ada di dalam diri kita masing-masing untuk menjadi seorang teman. Tua dan muda, kaya dan miskin, berpendidikan dan sederhana, dalam setiap bahasa dan negeri, kita semua memiliki kemampuan untuk menjadi seorang teman.
Juruselamat kita, tidak lama sebelum penyalibanNya, berkata kepada murid-muridNya, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabatKu."
6 Setelah begitu diberkati melalui persahabatan Kristus, saya berdoa agar kita sekarang menjadi bagi orang lain seperti apa adanya Dia bagi kita­seorang teman yang sejati. Tidak ada waktu di mana kita menjadi lebih seperti Kristus daripada sewaktu kita menjadi seorang teman. Saya bersaksi mengenai nilai tak terkira dari teman-teman di dalam kehidupan saya sendiri dan menyatakan syukur saya kepada mereka semua pagi ini. Saya tahu bahwa sewaktu kita menawarkan diri kita dalam persahabatan, kita memberikan sumbangan yang amat penting bagi pekerjaan Allah dan bagi kebahagiaan serta kemajuan anak-anakNya. Dalam nama Yesus Kristus, amin.
Posting from : lds.org/conference/talk/display/by. Cah Temanggung