Minggu, 21 September 2008

Pacaran Sehat biar aman

Remaja mengalami perubahan fisik dan psikis pada masa-masa yang dilaluinya, dimana remaja ingin mencoba karena terdorong rasa ingin tahu mereka yang tinggi, celakanya remaja ketika ingin mencoba hal baru tanpa dibekali suatu informasi yang oke, atau mereka hanya mengerti setengah-setengah mereka akan terjebak oleh apa yang mereka putuskan sendiri. Dimana pada saat ini remaja belum bisa mengambil keputusan, karena semua keputusan yang mereka ambil merupakan cerminan pencarian identitas diri mereka, yang masih mengagungkan egoisme remaja, merasa diri yang paling benar, dan beranggapan yang lain salah, sehingga hanya satu dua remaja saja yang mau menjalankan masukan dari orangtua.
Remaja memiliki banyak waktu senggang diantara jam kuliah atau pulang sekolah ataupun antara kuliah, remaja belum memiliki orietasi materi karena kehidupannya masih serba ditanggung oleh orangtunaya, jadi tidak ada hal penting yang terlalu membebani pikiran remaja, sehingga disinilah mulai muncul masa pacaran yang didalamnya terkait perilaku seks untuk mengisi waktu senggang mereka, dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perilaku seks yang tidak sehat, tantangan bagi kita disini bagaimana perilaku seks yang aman buat remaja.
Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul oleh karena dorongan seksual. Perilaku seksual bermacam-macam mulai dari bergandengan tangan, pelukan, kissing necking, petting, licking dan sampai berhubungan seksual. Dan perilaku seksual bisa diibaratkan seperti bola salju yang sekali dilepaskan dari atas bukit akan semakin membesar terus dan susah untuk dihentikan. Begitulah fenomena yang terjadi pada remaja saat ini, pacaran dimulai dengan perilaku seksual yang sederhana seperti pegangan tangan sampai pada yang kompleks seperti ML kebanyakan tidak disadari mereka. Ibarat ketika perilaku pegangan tangan sudah tidak bias mentoleransi gaya pacaran mereka, mereka akan berlanjut ke perilaku ciuman dan tidak mustahil mereka baru menyadari jika mereka sudah ML. Tidak jarang kasus HIV/AIDS terjadi pada remaja oleh karena perilaku seksual yang bebas. Ironis memang apa yang terjadi pada remaja kini, mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan dan resikonya kelak. Padahal pacaran adalah suatu proses pengenalan karakter yang berbeda-beda, dan hanya saja proses pendekatan untuk pengenalan karakter ini mereka rasa harus melalui tahapan perilaku seks yang tidak aman yang bagi mereka ini berarti rasa saling percaya. Perlu diingat remaja belum siap untuk membangun rumah tangga dan belum siap untuk menerima kehamilan.
Sebelum terjadi gumpalan bola salju yang semakin besar, remaja harus menyadari dulu fenomena ini dan memiliki gaya pacaran yang sehat seperti pacaran pas foto dapat dipertimbangkan, karena disini remaja dianjurkan untuk menstop perilaku seksual sampai pada daerah badan sebatas pas foto dan menyadari pula konsekuensinya jika lebih dari itu, pacaran sekali lagi adalah pengenalan karakter yang pasti akan selalu terjadi fenomena putus pacar, dan pacaran tidak selalu berakhir pada pernikahan, oke kalau pacar kita yang benar-benar akan menikahi kita, jika tidak?. Cinta monyet, cinta yang hanya sesaat, jangan percaya rayuan gombal. Pacaran sehat dijamin merupakan jurus ampuh untuk menandingi perilaku seks bebas remaja dan sekaligus mencegah timbulnya infeksi baru virus HIV/AIDS yang ditularkan lewat hubungan seks, remaja sangat beresiko dan sangat potensial untuk mencegahnya. Sudah siap belum mengamalkan gaya pacaran sehat?

(sumber: http://remajabali।wordpress.com)

Jumat, 19 September 2008

Sejarah Keuskupan Agung Semarang

Sejarah Singkat Keuskupan Agung SemarangPada tanggal 7 Agustus 1806 Raja Lodewijk Napoleon mengumumkan undang-undang kebebasan beragama। Akibatnya, Gereja Katolik di Indonesia, yang dilarang sejak tahun 1621, dapat berkembang lagi. Pada tahun 1807 mulailah lembaran baru dalam sejarah Gereja, ketika wilayah Hindia Belanda menjadi satu kesatuan dalam Gereja Katolik, yaitu Prefektur Apostolik Batavia. Dua imam sekulir dari Negeri Belanda tiba di Jakarta pada tanggal 4 April 1808 sebagai misionaris pertama. Pastor Jacobus Nelissen menjadi pemimpin pertama misi, yang meliputi seluruh Nusantara, dan beliau berkediaman di Jakarta. Selama 50 tahun berikutnya, 31 imam sekulir mengikuti jejak langkah kelompok kecil misionaris pertama itu. Di antara mereka adalah Pastor C.J.H. Franssen yang ditugaskan di Ambarawa. Pada tahun 1859 dua imam Yesuit tiba di Jakarta untuk membantu para imam sekulir itu. Selama masa jabatan Mgr. A.C. Classens (1874-1893), hanya dua imam sekulir saja bertahan. Akan tetapi, sementara itu 57 imam Yesuit berdatangan. Dengan demikian, praktis seluruh karya pastoral Gereja ditangani oleh imam Yesuit. Pada tahun 1893, ketika pastor W.J. Staal, SJ ditugaskan menjadi Vikaris Apostolik, tanggungjawab evangelisasi di Indonesia secara kanonik dialihkan dari imam sekulir kepada Serikat Yesus. Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat. Pada tahun 1866 Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi 8 stasi: Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Larantuka, Maumere dan Padang. Pada tahun 1903, seorang guru Kerasulan dan 4 orang kepala desa dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung pada Rama van Lith. Empat orang ini dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Dan kemudian, 171 orang menyusul dibaptis oleh Rama van Lith pada tanggal 14 Desember 1904 di Sendangsono. Peristiwa tersebut di luar harapan Rama van Lith. Mgr. Luypen dan pembesar SJ menafsirkan bahwa peristiwa pembaptisan tersebut sebagai tanda yang jelas bahwa metode Rama van Lith menghasilkan buah. Sementara itu pada tanggal 27 Mei 1899, Rama Hoevenaars SJ, teman seperjalanan Rama van Lith dari Eropa ditugaskan di Mendut. Ia berpendapat bahwa misi harus langsung mengarahkan kegiatan-kegiatannya pada rakyat kelas bawah. Ia berhasil juga. Dalam jangka waktu setengah tahun setibanya di Indonesia, telah dibaptis 62 orang Jawa. Pada akhir tahun 1903 jumlah orang Katolik di stasi Mendut lebih kurang 300 orang. Kedua metode tersebut dipraktikkan dan dipertahankan oleh kedua misionaris pertama itu. Pada tanggal 27 Juni 1905 Rama Hovenaars dipindahkan ke Cirebon. Beberapa tahun sesudahnya, ketika ia ditugaskan di Surakarta, ia mengakui keunggulan kebijakan Rama van Lith dan mengikuti jejaknya. Terutama wilayah sekitar Surakarta dan Yogyakarta terbukti menjadi tanah subur bagi benih-benih firman Allah. Sampai sekarang mayoritas umat Katolik Keuskupan Agung Semarang tinggal di wilayah tersebut. Di situlah terdapat pengaruh kuat dari keraton Surakarta dan Yogyakarta, bersamaan dengan nilai budaya tradisional yang telah berakar sangat dalam di hati dan sikap hidup masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut tidak menjadi ancaman atau diganti dengan agama Katolik. Karena alasan itulah, proses inkulturasi, yang telah dirintis oleh Rama van Lith, mengutamakan perlunya bahasa Jawa. Bahasa tidaklah sekedar sarana komunikasi, tetapi juga kristalisasi jiwa masyarakat dalam memandang dunia dan manusia secara khas Jawa. Di Muntilan Rama van Lith adalah pastor pertama yang dapat berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dalam bahasa Jawa. Ia menterjemahkan doa Bapa kami dalam bahasa Jawa. Rama van Lith berhasrat memberi kaum muda Jawa, pria dan wanita, suatu pendidikan yang bermutu tinggi, yang membuat mereka mampu memiliki posisi penting dalam masyarakat. Maka diselenggarakan pendidikan Kristiani, agar mereka menjadi benih-benih kerasulan yang dapat tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Pada tanggal 14 Januari 1908 Tarekat Suster Fransiskan mendirikan sekolah ketrampilan khusus untuk gadis-gadis Jawa di Mendut. Peristiwa sangat penting di Keuskupan Agung Semarang adalah didirikannya Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Rama F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb. Soegijapranta, SJ. Pada tahun 1915 Rama van Driessche, SJ (1875-1934) merintis karyanya di antara orang-orang Jawa di Yogyakarta dengan bantuan seorang katekis. Karya misi sungguh didukung dan dikembangkan oleh Tarekat Bruder FIC. Lima Bruder pertama datang dari Negeri Belanda di Yogyakarta pada bulan September 1920. Langsung saja mereka ditugaskan untuk mengajar di HIS. Kedatangan Bruder-Bruder berikutnya mampu memekarkan karya mereka di kota-kota lain seperti Muntilan (1921), Surakarta (1926), Ambarawa (1928) dan Semarang (1934). Pada bulan Januari 1922, Percetakan Kanisius mulai beroperasi dan dipercayakan kepada Tarekat Bruder FIC. Rama Strater, SJ mendirikan Perhimpunan Wanita Katolik pada tanggal 9 September 1923. Berdirinya Organisasi Partai Politik Katolik pada bulan Agustus 1923 menjadi bukti perkembangan Gereja dan keberanian orang-orang Katolik dengan pusatnya di Yogyakarta. Disebabkan oleh perbedaan situasi antara Jawa Barat/Batavia dan Jawa Tengah, dan demi berkembangnya Gereja, pada tanggal 1 Agustus 1940 didirikanlah Vikariat Apostolik Semarang. Paus Pius XII menetapkan Rama Albertus Soegijapranata SJ menjadi Vikaris Apostolik. Ia menjadi uskup pribumi Indonesia pertama. Peristiwa tragis menimpa dua orang hamba Tuhan, Rama Richardus Kardis Sandjaja, Pr. dan Frater Hermanus Bouwens, SJ. Pada tanggal 20 Desember 1948 mereka dibunuh di dusun Kembaran dekat Muntilan. Peristiwa itu berkaitan dengan penyerangan pasukan Belanda di Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, yang biasa disebut dengan clash kedua. Mgr. Albertus Soegijapranata SJ wafat pada tahun 1963, dan dimakamkan di makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang, sebagai Pahlawan Nasional. Mgr. Justinus Darmojuwono, Uskup kedua (1964-1981), diangkat menjadi Kardinal pertama di Indonesia (26 Juni 1967). Agar karya pastoral semakin berbuah, pada tahun 1967 Kardinal Justinus Darmajuwono mendirikan 4 Vikariat Episkopalis di Keuskupan Agung Semarang, yaitu Semarang, Kedu, Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bapak Kardinal Justinus Darmojuwono wafat pada tanggal 3 Februari 1994, dan dimakamkan di Makam Muntilan. Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ, penggantinya memimpin Keuskupan Agung Semarang (1984-1996). Mgr. Julius mengembangkan karya pastoral berdasarkan Arah Dasar Keuskupan untuk periode lima tahunan (1984-1990; 1990-1995; 1996-2000). Beliau kemudian juga diangkat menjadi Kardinal, dan kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta menjadi Uskup Agung Jakarta. Mgr. Suharyo (1997-sekarang) terus mengembangkan karya pastoral dengan mengumatkan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang untuk periode 2001-2005. Berinspirasikan ajaran Konsili Vatikan II Mgr. Suharyo mendorong Gereja Katolik mewujudkan diri menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban yang hidup, tempat orang-orang beriman menghayati Gereja sebagai peristiwa iman

DARI WWW.KASEMARANG.COM

di posting oleh Cah Temanggung

PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA


PENDAHULUAN
Suami-isteri adalah sepasang pria dan wanita yang telah disatukan oleh Allah, sehingga mereka “tidak lagi dua melainkan satu” (Mat 19). Maka mereka berdua merupakan satu pasangan yang berkenan pada Allah dan terhormat di mata masyarakat. Bila perkawinan mereka itu sah dan dilakukan oleh dua orang yang telah dibaptis secara sah pula, maka perkawinan tersebut bahkan merupakan sebuah sakramen, sebuah tanda dan sarana rahmat, sebuah lambang dari “perkawinan suci” antara Kristus dan jemaatNya (Ef 5).
Kepada mereka berdua itulah Allah menyerahkan anak, sebagai sebuah “titipan” dariNya. Sebagai “titipan” Allah, dan sekaligus juga sebagai citra Allah, setiap anak haruslah sepenuh-penuhnya mereka hargai, mereka cintai, mereka asuh, dan mereka didik, sehingga kelak di kemudian hari ia mampu dan berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Allah menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat utama bagi lahir dan tumbuh kembang setiap anak. Beliau juga menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat pertama untuk pendidikan anak, sebelum ia dididik lebih lanjut di sekolah dan di tempat-tempat yang lain.
Dalam rangka itu, kepada anak mereka, kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Dalam bukunya yang berjudul “How to raise children for Christ” Andrew Murray menulis : “Kekuatan dalam mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran kita, melainkan pada kepribadian dan tindakan kita, tidak pada ... pengajaran yang ideal ... melainkan pada hidup kita ... , tidak pada harapan atau teori, melainkan pada kemauan dan kehidupan nyata kita”.
BAGIAN I : PENDIDIKAN ANAK SECARA UMUM
Yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha orang-orang dewasa untuk membantu anak-anak muda, dalam memperkembangkan kepribadian mereka.
Usaha tersebut menyangkut berbagai bidang, karena kepribadian setiap anak mempunyai berbagai dimensi, yakni : dimensi fisik, dimensi mental, dimensi moral, dimensi sosial, dan dimensi spiritual.
Karena kompleksnya kepribadian setiap anak, maka pendidikan anak merupakan suatu proses yang panjang dan menuntut perhatian orangtua pada berbagai hal. Hal-hal yang paling penting kiranya dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut berikut.
A. Pemberian Gizi yang Cukup
Jiwa yang sehat biasanya terdapat di dalam tubuh yang sehat pula. Bagaimana orangtua dapat membantu anak-anak mereka memiliki tubuh yang sehat? Dengan gizi yang cukup. Untuk menjamin kebutuhan gizi anak-anak selama tahun pertama, ibu mereka sebaiknya memberikan ASI (air susu ibu) se-segera mungkin. Belum ada pabrik susu lain yang dapat menandingi “pabrik” susu yang dibuat oleh Sang Pencipta sendiri. Selain memberikan gizi yang sehat dan lengkap, dengan memberi ASI, setiap ibu juga dapat membina komunikasi yang mesra dengan anak-anaknya.
B. Pemberian Teladan Hidup
Melahirkan anak-anak itu tidaklah terlalu sulit. Yang lebih sulit adalah membuat mereka menjadi orang-orang yang baik. Untuk itu, orangtua harus memberikan teladan hidup yang baik. Kalau orangtua ingin bahwa anak-anak mereka menjadi orang-orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus memberikan teladan kerajinan, keramahan dan kesalehan.
Tidak seorang pun dapat memberikan suatu hal yang tidak dipunyainya. Orangtua yang menginginkan anak-anak mereka menghargai sesama haruslah terlebih dahulu membuktikan bahwa mereka berdua saling menghargai dan juga menghargai anak-anak mereka.
C. Perhatian dan Kasih Sayang
Setiap orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Anak-anak pun membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Tetapi, tentang hal ini, haruslah disadari betul bahwa memperhatikan dan mengasihi tidaklah berarti memanjakan. Orangtua yang memanjakan anak-anak justru membuat mereka menjadi orang-orang yang “lembek” , orang-orang yang tidak memiliki “semangat juang”. Mereka tidak tahan banting dan mudah menyerah.
D. Suasana yang Demokratis
Pendidikan anak-anak sebaiknya berlangsung dalam suasana yang demokratis. Di sana ada komunikasi dua arah. Anak-anak tidak suka dididik dalam suasana komunikasi yang bersifat monolog, satu arah saja. Orangtua tidaklah serba tahu.
Dalam dialog itu, orang tua hendaknya menciptakan suasana yang membuat anak-anak berani mengemukakan pendapat dan mengungkapkan emosi mereka. Selain itu, anak-anak sebaiknya dibantu agar mereka siap mempertanggungjawabkan semua tindak-tanduk mereka
E. Latihan Bekerja
Banyak pekerjaan kecil-kecil dapat dipercayakan kepada anak-anak, agar mereka terlatih dan akhirnya mampu mencintai pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan itu sebaiknya dimulai dari yang sederhana saja, misalnya : membersihkan lantai, mencuci piring, mencuci pakaian, menyiram tanaman, merapikan tempat tidur, menyeterika, menyiapkan minuman teh atau kopi, menghidangkan suguhan untuk tamu, menanak nasi, dan sebagainya. Yang penting, latihan-latihan itu selalu didasarkan pada motivasi yang baik dan tepat.
F. Teguran yang Bijaksana
Bila anak-anak membuat kesalahan, orangtua hendaknya menegur secara tepat. Bila tidak, anak-anak itu mungkin menyangka bahwa yang mereka lakukan itu sudah benar. Meskipun demikian, orangtua juga perlu menggunakan cara yang tepat dalam menyampaikan teguran. Janganlah orangtua “mengumumkan” kesalahan anak-anak di depan teman-teman atau guru-guru mereka. Cara seperti itu menurunkan harga diri mereka. Sebagai reaksi, anak-anak itu mungkin tergoda untuk melawan orangtua. Kalau seorang anak melakukan kesalahan, salah satu dari kedua orang tua, yang lebih akrab dengan anak itulah yang sebaiknya menegur anak itu “di bawah empat mata”.
G. Perhatian pada “Tangki Cinta”
Masing-masing anak mempunyai semacam “tangki cinta”. Bila tangki itu terisi penuh, hidup anak itu berjalan aman dan lancar. Sebaliknya, bila tangki itu kosong, ia cenderung bersikap nakal dan memberontak. Tangki itu hanya dapat diisi oleh orang lain, tidak dapat diisinya sendiri. Maka, orang tualah yang pertama-tama harus mengisinya. Menurut beberapa ahli psikologi, ada lima macam “tangki cinta”, yang masing-masing dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
Ada anak yang merasa diberi perhatian bila ia menerima peneguhan atau dukungan dari orang tuanya, saudara-saudaranya, dan orang lain. Maka pintu masuk untuk menyatakan perhatian kepadanya adalah peneguhan dan dukungan. Dengan diberi peneguhan, tangki cintanya akan terisi. Hasilnya, anak itu akan mengatur dirinya sendiri dan mudah juga diatur orang lain.
Ada anak yang merasa diperhatikan bila ia dilayani atau ditolong. Dengan diberi pelayanan, tangki cintanya akan terisi. Hasilnya, hidupnya berjalan dengan baik. Sebaliknya, kalau ia tidak dilayani, tangki cintanya akan kosong. Akibatnya, ia cenderung bertindak melawan aturan.
Ada anak yang merasa diperhatikan bila ia didampingi. Dengan pendampingan, tangki cinta anak itu akan terisi. Pendampingan itu dapat dilakukan dengan berjalan-jalan bersama, bersenda-gurau, atau bertamasya bersama-sama. Hasilnya, hidup anak itu dapat berjalan dengan baik.
Ada anak yang merasa sangat diperhatikan bila ia diberi hadiah. Dengan diberi hadiah, tangki cinta anak itu akan terisi. Sebaliknya, ia merasa tidak diperhatikan bila ia tidak diberi hadiah. Akibatnya, ia berontak dan berulah, entah di rumah, entah di sekolah.
Ada anak yang merasa diperhatikan bila ia disentuh. Anak semacam itu merasa senang bila ia mendapatkan dari orang tuanya sentuhan-sentuhan fisik berupa pelukan, ciuman, tepukan-tepukan sayang di bahu, cubitan pada pipi dan sebagainya. Bila demikian, kebutuhan akan cintanya terpenuhi, tangki cintanya terisi.
H. Ke-disiplin-an
Salah satu penghasil keberhasilan adalah kedisiplinan. Orang yang hidup dengan disiplin lebih berpeluang meraih keberhasilan daripada orang yang hidup seenaknya. Kedisiplinan itu merupakan hasil dari berbagai latihan yang dilakukan secara teratur dan dalam waktu yang lama. Sayang, banyak orang tua – mungkin karena rasa sayangnya - tidak tekun menumbuhkan ke-disiplinan pada anak-anak mereka. Akibatnya : anak-anak itu hidup tidak teratur dan sulit mencapai keberhasilan.
I. Rahasia Keluarga
Pertengkaran orangtua di hadapan anak-anak menimbulkan rasa gelisah pada anak-anak. Bagi anak-anak, orangtua itu bagaikan tonggak-tonggak kokoh yang menyangga atap tempat mereka berlindung. Mereka adalah benteng yang kokoh, tempat anak-anak bersembunyi ketika ada kesulitan atau ancaman. Maka benteng itu dapat runtuh bila anak-anak melihat kedua orang tuanya bertengkar, atau bahkan saling menyerang.
J. Simpati dan Empati
Mendidik anak-anak tidaklah berarti hanya memberikan informasi mengenai hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang dilarang, melainkan juga ber-simpati dan ber-empati pada anak-anak itu. Ber-simpati berarti menunjukkan perhatian dan penghargaan. Sedang ber-empati berarti berusaha merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak-anak. Orangtua yang bisa ber-simpati dan ber-empati pada anak-anak tidaklah hanya mengasihi mereka, melainkan juga mengenal dan memahami mereka.
K. Pendampingan
Yang dibutuhkan oleh anak-anak bukanlah sekedar pedoman, nasehat dan pengarahan atau “dogma” melainkan juga kehadiran pendamping yang baik, yakni pendamping yang memahami perkembangan zaman maupun jiwa anak-anak. Teladan utama bagi semua pendamping kristiani adalah Tuhan Yesus sendiri. Dialah gembala yang baik, gembala yang mengenal dan dikenal semua dombaNya.
L. Persahabatan
Orangtua sebaiknya berusaha menjalin persahabatan dengan anak-anak mereka. Menurut Larry Grabb, persahabatan semacam itu akan terjalin bila : anak-anak tahu bahwa orang tua sungguh -sungguh mencintai dan menyukai mereka; anak-anak tahu bahwa orang tua mau menerima segala kekurangan mereka; anak-anak mengalami bahwa orang tua menghargai mereka. Sementara itu, H. Norman Wright dan Gary J. Oliver mengatakan bahwa : anak-anak cenderung mempercayai orang tua yang sungguh-sungguh mempercayai mereka; anak-anak yang didengarkan cenderung mau mendengarkan; anak-anak yang mengalami bahwa mereka dipahami biasanya mau memahami; anak-anak yang dianggap baik oleh orangtua cenderung menganggap orangtua mereka sebagai orangtua yang baik.
M. Keutamaan-Keutamaan
Melalui orangtua, Allah menginginkan dan memberikan hal-hal yang baik bagi anak-anak. Yang baik itu bukan hanya materi (sandang, pangan, papan) dan kepuasan psikis, melainkan juga keutamaan-keutamaan, terutama : iman, harapan, dan kasih. Dalam keluarga yang sehat, orangtua berfungsi sebagai pemberi teladan keutamaan-keutamaan. Mereka dipanggil untuk membantu anak-anak mereka, agar anak-anak mereka pun mampu mengembangkan keutamaan-keutamaan itu.
Sebagai pemberi teladan bagi anak-anak, orangtua bukanlah orang-orang yang sempurna. Karena itu orang tua tidak perlu berpura-pura dapat hidup sempurna. Mereka sebaiknya bersedia mengakui kesalahan, tidak malu meminta maaf bila berbuat salah, dan tidak enggan memberi maaf kepada anak-anak mereka. Dengan mengijinkan anak-anak melihat keterbatasan mereka, orangtua memberi kesempatan yang bagus bagi anak-anak untuk melihat kerendahan hati mereka.
Mengenai pentingnya teladan orang tua Dorothy Molte menuliskan pendapatnya dalam buku “Children Learn What They Live” sebagai berikut :
Jika anak dibesarkan dalam celaan,
ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dalam permusuhan,
ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dalam cemoohan,
ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dalam kejujuran,
ia belajar bersikap adil.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupannya.
N. Perlunya Rahmat Allah
Yang sangat perlu diperhatikan oleh orangtua katolik saat mereka mendidik anak-anak adalah mendekatkan diri mereka kepada Tuhan, agar beliau sendiri berkenan berkarya dalam diri mereka, yang lemah dan rapuh itu. Tanpa rahmat dan berkat Tuhan, mereka tidak mampu menjalankan tugas mulia itu dengan baik. Dalam mendidik anak-anak mereka, orangtua hendaknya berusaha melaksanakan tugas itu sebaik mungkin, sambil mempercayakan usaha mereka ke tangan Tuhan sendiri, Sang Pendidik Agung.
O. Doa yang Tulus
Doa adalah seruan manusia di bumi yang didengarkan oleh Allah di sorga. Pada awal setiap kegiatan, orangtua katolik sebaiknya selalu meminta berkat Allah, agar segala sesuatu yang mereka perbuat berkenan kepadaNya dan berguna bagi keluarga mereka maupun bagi masyarakat luas. Setiap hari orangtua kristiani hendaknya menyerahkan anak-anak kepada Tuhan dan mengundang beliau untuk berkarya dalam diri mereka, agar anak-anak itu mampu hidup seturut kehendakNya, dan dengan demikian pantas menjadi anak-anak Tuhan.
BAGIAN II : PENDIDIKAN ANAK DI BIDANG IMAN
Makna Pendidikan Iman
Yang dimaksud dengan iman ialah hormat dan kasih manusia terhadap Allah. Maka yang dimaksud dengan pendidikan iman ialah proses dan usaha-usaha orang-orang dewasa untuk membantu anak-anak muda agar mereka mampu menghormati dan mengasihi Allah, Pencipta dan Penyelamat.
Hormat dan kasih manusia terhadap Allah itu biasanya berkembang bersamaan dengan perkembangan seluruh kepribadiannya. Bila seseorang semakin dewasa secara menyeluruh, maka biasanya ia juga semakin dewasa dalam iman.
B. Ciri-Ciri Penghayatan Iman
Pada usia kanak-kanak, penghayatan iman seseorang biasanya masih berciri egosentrik (terpusat pada dirinya), emosional (lebih berhubungan dengan perasaannya), konkrit (lebih banyak terkait dengan penyerapan inderawinya), dan spontan (terjadi tiba-tiba, tidak teratur, dan sangat terkait dengan pengalaman di satu tempat dan pada satu saat saja).
Barulah kemudian, pada usia dewasa, penghayatan iman seseorang lebih berciri sosial (diamalkan pada relasinya dengan sesama manusia), rasional (melibatkan penalaran dan perenungan dengan budi yang jernih dan hatinurani yang bening), abstrak (tidak terlalu terkait pada pengalaman inderawi di satu tempat dan pada satu saat saja), dan sistematik (teratur, saling terkait, membentuk anyaman penghayatan yang bersinambung).
Mengingat ciri-ciri dari penghayatan iman yang disebut di atas, orangtua dan para pendidik yang lain hendaknya berusaha agar semua upaya pendidikan iman sungguh sesuai dengan kemampuan dari orang-orang muda yang mereka dampingi. Pendidikan iman bagi anak-anak kecil hendaknya dilakukan melalui cara-cara yang sederhana dan menyentuh perasaan, tidak terlalu menuntut penalaran, dan mengandung contoh-contoh konkrit dari peristiwa sehari-hari.
C. Pendukung Perkembangan Iman
Di samping memperhatikan hal-hal yang sudah disebut di atas, orangtua kiranya perlu juga mengetahui hal-hal berikut, yang merupakan faktor-faktor pendukung dalam perkembangan iman anak :
* Keyakinan dalam diri anak bahwa dirinya dianugerahi Allah berbagai talenta : Sebagai citra Allah, setiap anak di-anugerahi berbagai talenta. Talenta itu bagaikan sebuah benih, yang masih dapat bertumbuh dan berkembang. Menyadari hal itu, orangtua hendaknya membantu anak-anak, agar mereka memahami diri sebagai insan yang berpotensi, karena telah di-anugerahi berbagai talenta oleh Sang Pencipta sendiri.
* Teladan iman dari orangtua dan orang-orang dewasa yang lain : Iman anak-anak hanya dapat berkembang bila mereka hidup bersama dengan orangtua dan orang-orang dewasa yang sungguh beriman. Sebagai insan yang masih belia anak-anak memerlukan teladan iman dari kedua orangtua dan orang-orang dewasa yang lain.
* Rasa aman untuk mengagumi dan bertanya : Melalui perkembangan imannya, seorang anak berkembang mendekati kebaikan dan kebenaran. Kebaikan dan kebenaran itu dapat dicapainya bila ia lebih dahulu boleh mengagumi segala sesuatu yang dilihatnya. Kekaguman itu kemudian akan berlanjut pada tampilnya aneka pertanyaan jujur, yang menuntunnya menuju kebenaran. Karena itu, bagi setiap anak haruslah diusahakan adanya rasa aman untuk menyatakan kekagumannya dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang segala hal. Orang tua dan orang-orang dewasa yang lain hendaknya memelihara rasa aman itu, bagi semua anak.
* Dorongan untuk mencintai alam beserta segala isinya : Perkembangan iman mengantar setiap anak semakin dekat dengan Allah. Kedekatan anak dengan Sang Pencipta itu dapat dipacu bila ia dibantu secara bertahap untuk lebih dahulu menghargai dan mencintai ciptaanNya, yakni alam semesta beserta isinya, terutama makhluk-makhluk hidup, dengan manusia sebagai puncaknya.
D. Tahapan Perkembangan Iman
Seperti segi-segi lain dari kepribadian anak, iman anak juga berkembang dalam beberapa tahapan. Menurut James W.Fowler, tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tahapan usia 0-3 tahun :
Tahapan ini disebut “tahapan primal”. Benih iman pada kurun hidup paling dini ini terbentuk oleh “rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya” dan oleh “rasa aman yang dialaminya di tengah lingkungannya”. Seluruh interaksi timbal-balik antara si anak dan orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Interaksi yang mendukung perkembangan iman adalah interaksi yang menumbuhkan keyakinan pada dirinya, bahwa ia adalah insan yang dicintai dan dihargai.
2. Tahapan usia 3-7 tahun :
Tahapan ini disebut “tahapan intuitif proyektif”. Unsur terpenting pada tahapan ini ialah intuisi si anak, yang sifatnya belum rasional. Intuisi tersebut dipakainya untuk memaknai dunia di sekitarnya. Intuisi itu memungkinkannya menangkap nilai-nilai religius yang dipantulkan oleh para tokoh kunci (yakni ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pastor, suster dan sebagainya). Maka, pada tahapan ini si anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai Sang Tokoh yang mirip dengan ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pastor, suster atau tokoh berpengaruh yang lain. Pada tahapan ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan hormat pada tokoh-tokoh kunci itu. Usaha-usaha untuk mengembangkan iman seorang anak pada tahapan usia ini seyogyanya dilaksanakan dengan cara yang sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran, dan menghindari ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang nyata.Usaha-usaha pendidikan iman pada tahapan ini hendaknya lebih mengandalkan keteladanan, melalui perilaku yang nyata dari para tokoh kunci.
3. Tahapan usia 7-12 tahun :
Tahapan ini disebut “tahapan mitis literal”. Pada tahapan ini yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok bina iman, sekolah, atau kelompok Sekolah Minggu Kelompok atau institusi tersebut berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran itu paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah rekaan cenderung diterima olehnya secara harafiah. Usaha-usaha pengembangan iman anak pada tahapan ini seyogyanya tetap dilaksanakan dengan cara sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran.
E. Konteks Perkembangan Iman
Perkembangan iman anak biasanya berlangsung dalam konteks atau ruang lingkup yang diwarnai oleh beberapa hal berikut.
1. Teladan tokoh-tokoh identifikasi :
Iman biasanya tumbuh pada anak pada saat ia mengamati dan mengikuti tokoh-tokoh identifikasinya, secara spontan dan belum terlalu disadari. Tokoh-tokoh identifikasi tersebut adalah orang-orang dewasa yang terpenting dan terdekat baginya, yakni orangtuanya. Sikap dan perilakunya mengacu pada sikap atau perilaku dari orang-orang dewasa yang dihormatinya, tokoh-tokoh panutannya.
Kemampuan seorang anak untuk memahami sesuatu secara abstrak biasanya masih sangat terbatas. Ia lebih mampu memahami sesuatu dengan melihat contoh-contoh yang konkrit dan cenderung mengikuti contoh-contoh tersebut.
Karena itulah, pimpinan Gereja katolik berharap bahwa anak-anak menemukan teladan hidup beriman pertama-tama dalam diri orangtua dan anggota-anggota keluarganya sendiri.
Dalam dokumen yang berjudul “Catechesi Tradendae“ (artikel 68) ditegaskan bahwa sejak usia dini para anggota keluarga perlu saling membantu agar bertumbuh dalam iman.
2. Suasana :
Yang dimaksud dengan suasana adalah keadaan dari suatu tempat. Suasana itu sulit dirumuskan, tetapi mudah dirasakan atau dialami. Bagi seorang anak, suasana merupakan keadaan yang menyenangkan atau tidak, membuatnya kerasan atau tidak. Pengaruh suasana rumah terhadapnya sangatlah besar, apalagi bila hal itu dialaminya selama bertahun-tahun. Karena itulah pimpinan gereja katolik menegaskan bahwa suasana keluarga yang diresapi kasih dan hormat mempengaruhi anak seumur hidupnya (“Catechesi Tradendae” artikel 68).
Suasana memang dapat terjadi karena kebetulan saja. Namun, mengingat penga ruhnya yang besar dalam perkembangan iman anak, suasana di rumah sebaiknya tidak terjadi karena kebetulan, melainkan karena “direkayasa” (dalam arti positif) sedemikan rupa sehingga ia memungkinkan perkembangan iman. Suasana seperti itu dapat diciptakan antara lain dengan : sikap dan perilaku semua anggota keluarga yang penuh kasih sayang dan keakraban; acara dan irama hidup yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan semua anggota keluarga dan sekaligus memungkinkan terciptanya selingan yang menyegarkan ; ruang-ruang rumah dan kebun yang ditata sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang manusiawi dan kristiani; dan tersedianya fasilitas yang memadai, terutama bagi anak.
3. Pengajaran :
Keteladanan kadang-kadang bersifat agak tersembunyi. Maka keteladanan itu sebaiknya juga diperkuat dengan pengajaran, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan daya tangkap anak, sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan kepribadiannya.
Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan iman : pengajaran harus sesuai dengan keadaan anak, kepekaan emosionalnya, aneka kesulitan dan masalahnya; pengajaran harus membantu anak mengolah pengalaman dan perasaannya ; pengajaran harus bersifat komunikatif, tidak indoktriner, dan merangsang anak untuk berpikir secara aktif.
4. Komunikasi :
Komunikasi antara semua anggota keluarga merupakan faktor pendukung perkembangan iman yang tak tergantikan. Memang, hal-hal yang di-komunikasikan tidak perlu selalu langsung mengenai iman. Meskipun demikian, isi komunikasi itu sebaiknya dapat memperluas wawasan iman dan menjadi sumber inspirasi iman. Sementara itu, bentuk-bentuk komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, misalnya : kebiasaan berterus-terang atau sembunyi-sembunyi, kebebasan berpikir atau ketaatan buta. Proses globalisasi sekarang ini membuka kemungkinan munculnya bentuk-bentuk komunikasi yang baru.
F. Aspek Psilologis, Pedagogis, dan Didaktis
Dalam melaksanakan pendidikan iman bagi anak-anak, orangtua perlu memperhatikan aspek psikologis mereka, agar kebutuhan-kebutuhan psikis mereka dapat terpenuhi sewajarnya. Karena itu, orangtua sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan minimal tentang psikologi anak. Diharapkan bahwa pengetahuan tentang psikologi anak itu dapat membantu orangtua dalam melaksanakan pendidikan iman sesuai dengan tuntutan prinsip-prinsip pedagogis, seperti misalnya yang menyangkut bentuk dan cara mengajar yang sesuai dengan daya tangkap anak. Sekurang-kurangnya orangtua hendaknya tahu apa yang harus dihindari, agar usaha mereka jangan sia-sia atau bahkan bersifat kontra-produktif.
Dalam pendidikan iman bagi anak-anak kecil, perlu juga diperhatikan aspek didaktis, yang menyangkut masalah cara mengajar yang efisien. Meskipun demikian, orangtua yang kurang akrab dengan aspek-aspek didaktis tak perlu merasa kurang mampu, karena pendidikan iman anak usia dini di lingkungan keluarga lebih ditentukan oleh suasana dan keteladanan.
Dalam pendidikan iman itu, aspek ke-Indonesia-an juga perlu diperhatikan sewajarnya. Maka orangtua katolik sebaiknya memperhatikan pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh Komisi Kateketik KWI.
G. Tantangan Zaman
Zaman ini diwarnai oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat. Di satu pihak kemajuan itu memberikan kemudahan-kemudahan dan kenyaman hidup. Di lain pihak, kemajuan-kemajuan itu membawa beberapa dampak negatif berikut :
* Individualisme. Orang zaman ini cenderung tak acuh pada orang lain. Karena itu, orangtua hendaknya membantu anak-anak agar mereka mampu mengatasi egoisme mereka.
* Persaingan. Orang zaman ini cenderung bersaing, kurang bersetiakawan. Karena itu, orangtua hendaknya mengingatkan anak-anak bahwa mereka dipanggil Tuhan untuk hidup dalam semangat kesetiakawanan.
* Mental yang lembek. Orang zaman ini cenderung kehilangan daya juang. Karena itu, orangtua hendaknya melatih anak-anak agar mereka tahan banting dan punya daya juang yang tinggi.
* Sekularisme. Orang zaman ini cenderung melupakan Tuhan dalam kegiatan dan hidupnya sehari-hari. Karena itu, orangtua hendaknya menyadarkan anak-anak, bahwa Tuhan itu selalu hadir dan penuh perhatian kepada manusia. Sebagai balasan, manusia sebaiknya menyertakan Tuhan dalam kegiatannya sehari-hari.
DAFTAR BACAAN
Darmawijaya St., “Mutiara Iman Keluarga Kritiani”, Penerbit Kanisius, 1994.
Deeken Alfons, “Usia Lanjut”, Penerbit Kanisius, 1989.
Gilarso T. (ed.), “Membangun Keluarga Kristiani”, Penerbit Kanisius, 1966
Grabb Larry, “Connecting : A radical New Vision”, Nashville: Word Publishing, 1997.
Hendrowarsito, “Bina Keluarga Muda”, Paguyuban Brayat Minulyo, 2000.
Kusuma P. Y. dan Marlinata A., “Materi Penyuluhan Remaja”, Biro Penyuluhan Remaja Komisi Keluarga Keuskupan Surabaya, 2000.
KWI, “Iman Katolik”, Penerbit Kanisius & Obor, 1996.
Maria Rua Albert, “Mendidik Anak Gimana Sih Caranya”,
Yayasan Pustaka Nusantara, 2003.
Murray Andrew, “How to Raise Your Children”, Bethany House Publishing, 1975.
Nolten Dorothy, “Children Learn What They Live”, -------------